Stefanus Gunawan, SH. M.Hum "Kriminal Berteknologi, Kejahatan silent killer"

Jakarta- pemersatusenimannews.com,- Banyaknua tindak kejahatan yang terjadi di masyarakat menjadi perhatian khusus  bagi seorang Advokat yang juga  Ketua LBH Serikat Pemersatu Seniman Indonesia (SPSI) Bapak Stefanus Gunawan SH M.Hum. (09/02/22)

Saat ditemui awak media dikantornya yang berada di Jalan Arjuna Jakarta Barat beliau menjelaskan bahwa KEJAHATAN jalanan seperti begal, rampok, penodongan, dan perampasan kerap menimbulkan rasa takut dan kecemasan masyarakat. Sebab, selain merugikan material, kadang menyakiti fisik korbannya hingga menghilangkan nyawa manusia. Tindakan kriminal satu ini dilakukan secara terang-terangan oleh pelakunya.

Tapi tidak demikian halnya dengan kriminal berteknologi. Tindak pidananya memang tidak secara langsung menimbulkan rasa takut dan kecemasan, karena dilakukan tidak secara kasat mata, dan tidak menyebabkan fisik terluka, atau nyawa melayang akibat dianiaya.

Sekalipun tak mencemaskan dan bikin rasa takut para korbannya, tapi kejahatan ini bersifat silent killer. Membunuh dalam diam. Seperti halnya penyakit kanker, muncul tanpa gejala tapi dapat menyebabkan kerusakan permanen organ tubuh dan kejiwaan manusia. Dan berujung pada kematian.

Seperti diketahui, tindakan kriminal berteknologi ini, oleh penjahatnya, dapat dilakukan di atas tempat tidur, atau sambil santai dengan secangkir kopi serta sepiring camilan. Tanpa perlu bawa senjata api, pisau atau golok sperangkat yang digunakan kejahatan konvensional.

Hebatnya lagi, pelaku kejahatan berteknologi agak sukar disentuh hukum jika tindakannya bersifat global, atau lintas antar negara. Sulit menentukan yuridiksi hukum terhadap pelakunya. Ini kerap terjadi pada kasus pidana ekonomi.

Begitulah, sekalipun kejahatan berteknologi sifatnya santun, dalam diam, tapi kerugian yang ditimbulkan jauh lebih luas dibandingkan dengan tindakan kriminal jalanan yang hanya merugikan seputar individu. Dampak kerugiannya, ekonomi, sosial, politik maupun budaya.  Bahkan tak tertutup kemungkinan, negara bisa bangkrut karenanya.

Itu sebabnya, mengingat dampak kriminal berteknologi mengerikan bagi perorangan, perusahaan, lembaga maupun pemerintahan, sejauh ini berbagai pihak yang mengerti begitu berbahayanya kejahatan yang satu ini, berusaha melakukan penguatan perisai komputerisasinya agar sistem yang dipergunakan tidak mudah diretas oleh para bandit canggih.  Namun, meskipun begitu, tetap saja kebobolan oleh tindakan maling pemilik sistem teknologi mumpuni.

Seperti diketahui, kejahatan berteknologi dengan berbasis komputer dan piranti komunikasi (internet) terus meningkat dari hari ke hari, baik secara kuantitas (jumlah) maupun kualitas. Modus kejahatannya hanya dapat dimengerti oleh orang yang mengerti, serta menguasai bidang teknologi komputer informasi. Sementara pelakunya tidak mudah teridentifikasi, mengingat sangat menguasai teknologi komputer dan internet (komunikasi).

Ketentuan Hukum

Dengan berkembangnya piranti komputer atau jaringan komunikasi handphone di tengah masyarakat, maka jenis kejahatan cybercrime ini semakin luas. Bukan hanya sebatas penipuan, pembobolan kartu kredit dan rekening bank nasabah, penipuan identitas, pemalsuan bukti pembayaran cek, penipuan lelang dan kepercayaan (confidence fraud), pelanggaran hak cipta, tapi juga tindak pidana  umum yang telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tapi dilakuakn secara daring atau online. Misalnya, fitnah, menebar berita bohong (hoaks) dan kebencian, penghinaan, pornografi dan lainnya.

Ketentuan hukum kejahatan berteknologi ini terbagi dua. Petama, mengatur tentang transaksi elektronik, dan kedua tentang masalah suatu perbuatan yang dilarang (cybercrimes).

Misalnya tindakan fitnah, menebar berita bohong (hoaks) dan kebencian, serta perbuatan tidak menyenangkan, penghinaan dan pornografi kini menjadi bagian dari kejahatan berteknologi jika dilakukan menggunakan jejaring internet seperti piranti komputer komunikasi (laptop), atau peralatan seperti telepon genggam (handphone).

Jumlah tindakan pidana cybercrimes  jauh lebih banyak dibandingkan kejahatan transaksi elektronik atau jenis ekonomi. Kepolisian Indonesia mencatat, bahwa jenis kejahatan yang sudah diatur di dalam (KUHP) selama lima tahun belakangan ini terus meningkat.

Kepolisian mencatat, pidana dengan piranti teknologi pada tahun 2017 ada 1.338 kasus, lalu pada 2018 menjadi 2.552 kasus, kemudian pada 2019  meningkat jadi 3.436 kasus. Dan laporan masyarakat atas tindak pidana lewat jejaring komputer komunikasi ini hingga akhir Desember 2021 hampir mendekati 5.000 kasus. Artinya, kasus pidana umum dalam konteks cybercrimes melonjak sampai 300 persen.

Sementara kejahatan ekonomi seperti penipuan, pembobolan kartu kredit dan rekening bank nasabah, penipuan identitas, pemalsuan bukti pembayaran cek, penipuan lelang dan kepercayaan (confidence fraud) secara daring serta pelanggaran hak cipta, secara kuantitas masih bisa dihitung dengan jari setiap tahunnya.

Seperti diketahui, sebelum Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) No. 11 Tahun 2008 diberlakukan pada 21 April 2008, kemudian diperbaiki menjadi UU ITE No. 19 Tahun 2016, pidana umum seperti penghinaan (perbuatan tidak menyenangkan), fitnah, pencemaran, dan lainnya sudah diatur di dalam KUHP.

Ancaman terhadap pidana umum yang termaktub di UU ITE memang jauh lebih tinggi. Misal, kasus pencemaran. Pasal 310 ayat (1) KUHP sanksi pidana kurungan badan sembilan bulan atau denda paling banyak Rp. 4.500. Sedangkan hukuman pidana Pasal 27 ayat (3) UU ITE penjara empat tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 750 juta.

Tapi anehnya, meskipun ancaman pidana UU ITE tinggi, sepertinya tidak membuat takut masyarakat. Justru perbuatan pelanggaran hukum dengan menggunakan piranti jejaring internet tidak berkurang, malah terus bertambah.

Hal ini berkaitan ada anggapan, bahwa pengungkapan pendapat lewat jejaring internet di media sosial (Medsos) merupakan ekspresi atau sikap atas suatu kejadian. Bukan suatu kebencian, fitnah atau pencemaran yang bersifat perbuatan terlarang atau pelanggaran hukum.

Lantaran anggapan seperti itu, masyarakat sepertinya tak peduli dengan ancaman pidana UU ITE. Buntutnya, timbul sikap suka hati menyampaikan ekspresi lewat Medsos, meski kemudian muncul laporan pidana dari orang yang merasa dirugikan. Seperti diketahui, sejauh ini banyak artis, tokoh masyarakat dan pejabat yang merasa dicemarakan nama baiknya di Medsos, melapor pihak yang merugikan dirinya ke polisi.

Memang tak disangkal lagi, perkembangan teknologi memunculkan banyak media sosial berjejaring internet di tengah masyarakat. Dan hal ini seolah-olah memberikan kebebasan berekspresi penggunanya. Padahal, jika piranti itu disalahgunakan atau diartikan lain, maka ekspresi yang notabene menyerang harkat dan martabat orang lain, ada sanksi hukumnya.

Fenomena seperti itu yang kini merambah di tengah masyarakat, dan sialnya sanksi hukuman UU ITE yang begitu tinggi, sepertinya tak menjadi ancaman. Orang tak lagi segan membuli orang lain dengan cacian, atau kalimat nyinyir. Orang tak lagi ragu menebar kebencian dan fitnah terhadap orang lain. Mereka sesuka hatinya, atau tak lagi mengenal batas etika dan norma aturan bersosial, menggunakan piranti berteknologi tersebut.

Dalam kaitan sanksi hukum  atas kejahatan berteknologi atau cybercrimes , diharapkan aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, harus lebih tegas lagi menindak para pelaku kriminal satu ini. Dan hakim harus menjatuhkan hukuman seberat-beratnya agar menimbulkan efek jera. Sebab kejahatan ini bukan hanya meresahkan masyarakat, tapi juga merusak sendi-sendi perekonomian negara.

Penulis adalah:
Ketua DPC Peradi Jakarta Barat (Peradi SAI)
Ketua LBH Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) Jabodetabek
Ketua LBH Serikat Pemersatu Seniman Indonesia (SPSI)
Penerima penghargaan ‘The Leader Achieves In Development Award’ dari ‘Anugerah Indonesia’ dan ‘Asean Development Citra Award’s dari Yayasan Gema Karya

Post a Comment

Selamat Datang di media Pemersatu Seniman Indonesia

Previous Post Next Post